Saat pertama melihat tampangnya, tak sedikit pun aku menduga bakal
mengalami kecelakaan ini: jatuh cinta! Ia tidak tampan. Bahkan tampilan
fisiknya boleh disebut kusut. Gondrong sebahunya pasti hanya sesekali
disisir dengan jemari tangannya. Dan ketika hidungku hanya berjarak
beberapa senti dari tubuhnya, tak ada yang bisa tertangkap selain aroma
keringatnya yang berbaur dengan bau kerak nikotin yang sangat menyengat.
Ia laki-laki yang selalu berasap.
Ia juga susah dimasukkan ke
dalam kelompok laki-laki supel yang gampang akrab. Bahkan aku baru bisa
bercakap-cakap dengannya dalam arti yang sesungguhnya setelah nyaris
putus asa. Hari pertama, aku hanya mendapatkan senyuman hambarnya. Aku
belum mendapatkan sedikit pun alasan untuk tertarik padanya. Hari kedua,
kami baru berjabat tangan, dan kusebut namaku, dan ia sebut namanya
"Ouw, aku sudah kenal nama itu. Kau cukup banyak menulis artikel seputar persoalan perempuan, kan?"
Aku sedikit terkejut, padahal sudah menduga sebelumnya jika ia akan berkomentar seperti itu setelah kusebut namaku.
"Aku
juga cukup banyak membaca tulisan-tulisanmu," kataku, yang kemudian dia
sambut dengan ucapan terima kasih. Padahal, di dalam hati aku berkata,
"Sayang, kau tak sehangat tulisan-tulisanmu. Kupikir kau orangnya
hangat, menarik, tak akan pernah kehabisan bahan cerita. Eh, ternyata
nyaris gagap di "darat"! Laki-laki yang tidak menarik!"
Tetapi
kekecewaanku lebih dari sekadar terobati ketika menyaksikan
penampilannya di depan forum. Di antara moderator dan tiga orang
pemakalah yang dipanelkan di dalam sesi itu, ia benar-benar jadi
bintang. Tiba-tiba aku melihat dia dengan wajah baru, dengan kesegaran
baru, dengan semangat baru. Dia tidak lagi gagap, bahkan terkesan
garang, walau tidak segarang tulisan-tulisannya yang selama ini aku
kenali (catatan: kemudian aku tahu bahwa sekian banyak tulisannya tidak
aku kenali sebagai tulisannya karena dia menulis dengan beberapa nama
samaran). Tiba-tiba aku melihat auranya menjadi sedemikian cemerlang. Ia
menjadi sangat menarik, bahkan sangat merangsang! Aku pun kasmaran.
Benar sekali kata Diat, temanku, bahwa bagian tubuh paling seksi itu
adalah otak!
Maka, begitu ia turun dari tempatnya, aku ikutan
menghambur untuk menyalaminya, mengucapkan selamat atas kesuksesannya
sebagai pembicara, dan yang paling penting adalah memuaskan diri,
menghisap aroma keringatnya yang tak jadi soal lagi walau berbaur dengan
bau kerak nikotin yang sangat menyengat itu. Ini hari keempat. Dan pada
hari keenam, aku harus sudah meninggalkan kota dengan segudang sebutan
ini: Kota Budaya, Kota Pelajar, Kota Gudeg, Kota "Seks in the Kost".*)
Hari
kelima, waktu istirahat dan makan siang, aku sudah menjadi akrab
dengannya. Dari sorot matanya aku tahu betul bahwa diam-diam ia pun
mengagumiku. "Pertanyaanmu tadi sangat cerdas," pujinya. Aku tidak
terkejut, tetapi sedikit kecewa. Aku ingin ia bilang aku cantik. Ah!
Lalu
kami berdiskusi sambil makan, minum, dan sebentar kemudian ia menjadi
laki-laki berasap. Rokoknya sambung-menyambung. Tetapi anehnya, aku
makin kerasan berada di dekatnya. Waktu pun seperti makin bersicepat.
Hanya tinggal satu hari satu malam kesempatan tinggal di tempat yang
sangat menyenangkan ini.
"Setelah ini inginmu masuk ke ruang
apa?" tanyaku tiba-tiba, dan aku pun kaget sendiri, membayangkan dia
tahu persis apa motivasi pertanyaan itu.
"Sebenarnya aku sudah
sangat jenuh. Mereka hanya mengulang-ulang kalimat-kalimat lama.
Persoalan-persoalan lama. Lagu lama. Aku sih pengin jalan-jalan saja.
Esok sudah hari terakhir. Tapi…."
"Boleh aku ikut?"
"Oh, ya?
Sebenarnya aku mau ajak Titok, tetapi dia pulang tadi pagi, ditelepon
istrinya. Katanya ada sesuatu yang penting yang mesti cepat ia
selesaikan."
"O, Titok yang dari Solo itu, ya?"
"Ya. Kenal dia?"
"Kenal, terutama dari tulisan-tulisannya."
"Ya,
aku juga suka membaca tulisan-tulisannya. Aku juga baru mengenalnya
secara langsung di sini, terutama karena harus sekamar dengannya."
Sebentar
kemudian kami sudah berada di sebuah taksi. Keliling kota. Turun di
warung ikan bakar, makan sama-sama, lalu jalan kaki sama-sama. Lelah,
naik taksi lagi, turun, jalan-jalan lagi, begitu entah sampai berapa
kali ganti taksi. Lalu, tiba-tiba kami sudah berada di pusat kota. Orang
bilang, belumlah sempurna mengenal kota ini tanpa pernah menyusuri
jalan yang satu ini.
Jika aku ingin memberimu tanda mata, apa
yang kauinginkan?" demikian pertanyaannya, sangat mengejutkanku! Dan
yang lebih mengejutkanku lagi adalah jawaban spontanku, "Cincin!"
Oh, ya?""
Tapi
bukan cincin emas. Aku menginginkan sebentuk cincin perak. Kau mau
membelikannya untukku? Lalu, sebagai kenang-kenangan dariku, apa yang
sebaiknya kubeli untukmu?"
"Cincin."
"Ha?"
"Aku sudah punya cincin emas, aku juga ingin punya cincin perak, yang di lingkar dalamnya terukir namamu."
"Hah…?"
"Apakah
permintaanku berlebihan?"Aku tidak memberikan jawaban berupa kata-kata
untuk pertanyaan itu. Tetapi kemudian aku penuhi permintaannya dan
dipenuhi pula permintaanku. Kami, masing-masing mendapatkan sebentuk
cincin "bernama". Ada namaku pada cincin yang kubeli untuknya, dan ada
namanya pada cincin yang dia beli untukku. Aku merasa sangat senang,
jika terlalu berlebihan untuk disebut bahagia. Rasanya seperti ketika
waktu kanak-kanak dulu mendapatkan baju baru, atau hadiah menarik dari
ayah atau ibu. Hatiku berbunga-bunga. Bunga warna-warni: merah, kuning,
putih, biru. Aku hampir saja melompat ke dadanya yang kerempeng itu.
Coba, jika benar itu kulakukan dan kemudian ia terjengkang dan terkapar
dalam keadaan aku bertahta di atas dadanya, betapa konyolnya. Hahaa,
sebenarnya aku ingin mengatakan, "Betapa dramatiknya!"Kemudian tibalah
saat yang menyedihkan itu. Acara berakhir, dan aku harus berpisah
dengannya.
"Kau selalu di hatiku," gombalnya.
"Ah, terlalu dalam.
Aku ingin berada di atas dadamu saja," lucuku.
Tetapi dia tidak tertawa. Aku juga. Kami benar-benar bersedih.
"Jangan bosan-bosan membalasnya, aku akan rajin mengirimimu SMS," pintanya.
"Tentu. Bisa jadi aku akan lebih rajin mengirimimu."
"Ya, kirimkan rindumu padaku."
"Tentu!"
Di
bandara kulihat matanya berkaca-kaca. Sayang, kami harus menaiki
pesawat yang berbeda. Ada keharuan yang mendesak-desak ketika kami
saling melambaikan tangan. Sama-sama melambaikan tangan kiri, sekalian
untuk saling meyakinkan bahwa kami memakai cincin bernama itu di jari
manis kami. Aku yakin dia tidak sedang berbasa-basi. Seperti aku, tidak
sedang berbasa-basi.
Kini, aku sedang melayang-layang menyibak
gugusan awan, lalu menukik tajam, bagai tersedot mulut jurang tanpa
dasar itu: cinta!Berlama-lama aku memandangi sebentuk cincin yang
melingkar di jari manisku ini. Lalu kulepas, kupandangi deretan huruf di
lingkar dalamnya, sebelum kemudian kupakai lagi, kulepas lagi, kupakai
lagi… Pikiran dan perasaanku menjadi sangat sibuk. Seolah aku sudah
tidak kuasa mengendalikan diri. Tiba-tiba aku sudah menyalakan komputer.
"Thing, thung, thing…." Ouw! Itu suara ponselku jika menerima SMS.
"Aku mulai gelisah, cemas, dan merasa kesepian.
Aku merindukanmu!"
"Oh, aku juga."
"Aku yakin, aku sangat mencintaimu."
"Rasanya, aku juga."
"Oh, ya? Kita menikah saja, ya?"
"Hm, secepat ini kaubuat keputusan? Aku takut kau sedang mabuk."
"Mabuk? Aku tak suka minum."
"Mabuk asmara, maksudku."
"Ah, percayalah padaku."
"Aku percaya. Tetapi kapan kita akan menikah?"
"Sekarang juga!"
"Ha…? Sekarang…?"
"Ya. Kunikahi kau dengan segenap cintaku. Tak sabar lagi aku untuk memanggilmu sebagai istriku."
"Ya, kuterima cintamu. Aku bersedia menjadi istrimu, suamiku!"
"Oh, istriku….!"
"Ya, suamiku…!"
"Chpmshshmmmm…..!"
"Mmmmuach…!"Lagi,
di depan komputer, berlama-lama kupandangi sebentuk cincin yang
melingkar di jari manis ini. Lalu, kulempar ke dalam keranjang sampah
sekantung cincin bernama yang kubangga-banggakan selama ini. Dan sambil
sesekali membalas SMS "suamiku", aku pun mulai menulis, "Saat pertama
melihat tampangnya, tak sedikit pun aku menduga bakal mengalami
kecelakaan ini: jatuh cinta! Ia tidak tampan…."
Kamis, 12 Maret 2015
CERITA CINTA TERINDAH
Diposting oleh Unknown di 06.25
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 Comments:
Post a Comment